Jumat, 19 Desember 2008

Menjadi Caleg, Untuk Kepentingan Siapa ?

Harian ini terbitan Kamis 9/10 memuat dua tulisan masing-masing; Tradisi Menjadi Anggota Dewan ? oleh Dwia A Tisna NK dan Dai Sebagai Caleg; Kebenaran atau Ketenaran oleh Usman Jasad. Menarik sekali karena kedua tulisan tsb disajikan bersamaan dengan hingar bingarnya pencalonan anggota legislatif mulai dari tngkat kabupaten/kota, propinsi sampai tingkat pusat, yang ditandai dengan ramainya spanduk, baliho, poster serta aneka atribut lainnya yang menampilkan wajah caleg ( calon anggota legislatif ) dengan sederetan kata-kata yang indah-indah sebagai cara mempromosikan diri agar dipilih rakyat.

Meskipun kedua tulisan tersebut berbeda nuansanya tetapi makna dasarnya sama yakni mengajukan pertanyaan tentang motivasi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bila disimak secara cermat maka kedua tulisan itu dapat disimpulkan tentang motivasi seorang caleg ada dua yakni, sebagian untuk berjuang bagi kepentingan rakyat, memperjuangkan nilai-niulai kebenaran dan sebagian demi kepentingan diri sendiri. Akan tetapi manakala pertanyaan tsb disampaikan kepada para caleg, maka sudah dapat dipastikan para caleg akan memberi jawaban seragam; berjuang untuk kepentingan rakyat/menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bahkan tanpa ditanya pun para caleg sudah menyampaikannya itu melalui berbagai atribut kampanye yang sekarang memenuhi kota dan meluap sampai ke desa-desa. Bila mencermati kalimat-kalimat yang terpampang di setiap spanduk, baliho, poster dll sungguh tidak meragukan bahwa para caleg adalah orang-orang yang mempertaruhkan hidupannya demi kepentingan orang banyak, demi kebenaran dan keadilan.


Memahami Pergulatan Kehidupan Rakyat

Sepintas kelihatan bidang politik adalah bidang yang mudah dilakoni; cukup menjadi pengurus partai lalu menjadi caleg atau lebih mudah lagi tunggu masa penacolnan yang sekali setiap lima tahun lalu mengajukan diri menjadi caleg dan bila terpilih jadilah anggota dewan yang menghadiri sidang-sidang membahas anggaran, membahas Peraturan Daerah, UU dan mengawasi eksekutif. Tetapi apabila mengkajinya secara mendalam fungsi dan hakekat dewan sesungguhnya bukan sebuah aktifitas yang gampang dilakoni. Meskipun berdasarkan konstitusi, legislatif sejajar dengan institusi negara lainnya yakni eksekutif dan yudikatif, tetapi sejatinya legislatif memiliki fungsi yang jauh lebih penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab lembaga inilah yang memiliki kedekatan emosional langsung dengan rakyat sang pemilik kedaulatan. Dengan demikian penghayatan yang mendalam tentang hakekat aspirasi rakyat dan mengolahnya menjadi bahan masukan bahkan bisa menjadi tuntutan kepada eksekutif melalui program dan kebijakan-kebijakan, menjadi bagian yang teramat penting bagi seorang anggota dewan. Penghayatan tsb tidaklah mudah, karena harus melalui pengalaman-pengalaman yang bersentuhan langsung dengan pergulatan hidup rakyat. Sebagai contoh tidaklah mudah memahami pergulatan hidup petani terutama petani gurem yang oleh Bung Karno disebut Kaum Marhaen. Itulah sebabnya sampai hari ini kehidupan petani tak kunjung berubah menjadi sejahtera karena tidak banyak wakil rakyat di dewan pada semua tingkatan yang memahami denyut pergumulan petani lalu kemudian menuangkannya dalam bentuk tuntutan kepada eksekutif sehingga melahirkan program-program yang memihak kepada petani. Tetapi saat-saat menjelang pemilu hampir semua partai dan juga para caleg menyatakan akan berjuang memperbaiki nasib petani meskipun dengan kalimat yang agak berbeda. Menurut Komaruddin Hidayat ( kini Rektor UIN Jakarta ) siapapun politisi, entah duduk di eksekutif maupun legislatif, ingin mencitrakan diri bersih, cinta bangsa,` dan benar-benar bekerja untuk rakyat ( Politik Panjat Pinang hal 74 ).

Tetapi pencitraan dengan kata-kata itu sendiri tidak langsung diikuti dengan tindakan konkrit, bahkan bisa yang terjadi justru kontroversi. Itulah sebabnya Benny Susetyo pengamat masalah sosial politik mengatakan; “tidak ada satupun partai politik ( yang tentu direpresentasikan kader-kadernya di legislatif ) di Indonesia yang benar-benar berjuang secara serius untuk kepentingan rakyat”. Yang terjadi katanya, partai-partai politik/petugas-petugas partai hanya berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat ( Disorientasi Parpol, Suara Pembaruan 8/10 - 2007 ). Itu hanya salah satu contoh ketidakmampuan para anggota dewan memahami denyut masalah kehidupan petani dan akibatnya petani yang jumlahnya tidak kurang dari 100 juta orang tak kunjung mengalami perbaikan kehidupan secara berarti. Padahal peringatan akan nasib petani sudah dikumandangkan jauh sebelum kemerdekaan seperti disampaikan Bung Karno : “ saya menganjurkan jangan sampai marhaen nanti menjadi pengupas nangka, yang hanya mendapat bagian getahnya saja”( Di Bawah Bendera Revolusi hal. 288 ). Apa yang terjadi sekarang ? Kaum Marhaen, di antaranya petani tetap menjadi pengupas nangka, tetapi tidak menikmati nangkanya, tidak menikmati kemerdekaan padahal esensi kemerdekaan adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Jika ditanyakan apa yang menjadi penyebabnya, maka tidak lain adalah kegagalan para wakil rakyat mengartikulasikan kepentingan petani dalam bentuk kebijakan. Padahal semua calon anggota legislatif manakalah sedang berkampanye tak satupun yang tak berjanji akan berjuang bagi kepentingan rakyat, tentunya termasuk kaum petani.


Caleg instan.

Lalu dimana letak kegagalan tsb. Salah satu faktor kegagalan para wakil rakyat mengartikulasikan kepentingan rakyat karena partai yang bertanggung jawab merekrut calon tidak mampu melakukan pendidikan politik untuk mendidik dan melatih para calon

untuk dua hal pokok; kemampuan menyendengkan telinga untuk mendengarkan denyut kehodupan rakyat dan kemampuan mengelolahnya menjadi agenda perjuangan. Tetapi ali-ali membina, banyak calon-calon yang direkrut begitu saja menjelang pencalonan, atau karena kebetulan orang tuanya sedang memegang kekuasaan di partai, sehingga ibarat pemain bola, direkrut menjelang pertadingan dan langsung diterjunkan ke medan tanding tanpa pernah dengar pengarahan bagaimana menjempuit bola dan kemudian teknik membawanya untuk dikelolah menjadi gol. Serba instan hanya karena ada peluang berdasar pertimbangan-pertimbangan subjektif, padahal pertimbangan subjektif seperti itulah yang dulu dikecam di zaman Orde Baru dengan banyaknya lingkup kerabat pejabat yang dijadikan calon anggota legislatif. Saat itu pencalonan terkenal dengan istilah AMPI ( Anak, Menantu, Ponakan, Istri ) yang disoroti karena pada akhirnya melahirkan anggota legislatif yang tidak berkualitas dan tidak memiliki keberanian memperjuangkan aspirasi rakyat yang akhirnya popular dengan istilah 4D. Masalahnya karena penentuannya hanya berdasar pilihan subjektif dan tanpa pengalaman apapun di bidang politik. Tetapi aneh, kondisi demikian kini mulai subur, padahal itulah yang disoroti Dwia A Tina, para anggota dewan akan menjadi ascriptive status; memperoleh status ( sebagai anggota dewan) semata karena tradisi atau berbagai perangkat psiko emosional, misalnya karena keturunan. Jadi bukan achieved status; yakni memperoleh status sosial berdasar perjuangan dan prestasi yang rasional, atau menurut Komaruddin Hidayat, terpilih karena benar-benar melalui proses seleksi dari bawah karena prestasi moral, intelektual dan pengabdiannya pada masyarakat. Apa yang dimaksudkan baik Dwia A Tina maupun Komaruddin Hidayat ialah perluhnya sebuah proses rasional objektif yang matang dan itu akan membekali para calon berkemampuan untuk mengagregasi kepentingan-kepentingan rakyat secara nyata. Penyimpangan dari proses tsb, hanya akan melahirkan anggota dewan yang hanya dimaknai sebatas simbol formalitas, bukan fungsional atau menurut istilah Usman Jasad hanya untuk ketenaran bukan untuk kebenaran. Dan pada gilirannya tidak ada yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat seperti diutarakan Benny Susetyo.

Pada akhirnya kembali kepada kita semua terutama para elit politik yang diberikan kekuasaan, apakah kekuasaan tsb akan dimanfaatkan untuk memperbaiki nasib bangsa yang semakin runyam, atau justru sebaliknya semakin merunyamkan nasib bangsa dengan menampilkan calon-calon anggota legislatif instan.

Jacobus K. Mayong Padang

Anggota DPR RI

Kelangkaan Pupuk dan Pemerintah Yang Idiot

Kelangkaan pupuk yang belakangan menjadi berita hangat bahkan mulai menimbulkan kekisruhan antara lain petani menghadang truk-truk pengangkut pupuk atau mendatangi dan membongkar gudang pupuk bukanlah ceritra baru di negeri ini. Ia sudah menjadi salah satu musim rutin yang mengiringi musim tanam. Zakaria ( 41 ) petani biasa di Desa Gunungsari Kec.Haurwangi Kabupaten Cianjur mengatakan; “Saya tidak tahu kenapa setiap kali musim tanam, pupuk selalu sulit diperoleh. Harganya juga selalu naik” ( Kompas 24/11 ). Dengan demikian, kelangkaan pupuk bukanlah kejadian tiba-tiba dan bukanlah bencana yang datang tanpa bisa diprediksi lebih awal karena sudah rutin setiap musim tanam selama bertahun-tahun.

Pertanyaannya, apakah kelangkaan pupuk hanya masalah sepele sehingga dibiarkan terjadi berulang secara terus menerus ? Ternyata tidak. Buktinya Wakil Presiden H.M.Yusuf Kalla harus memimpin rapat koordinasi dengan sejumlah instansi terkait untuk mencari jalan keluar. Hanya saja kemungkinan rapat koordinasi tsb dilaksanakan lebih kepada upaya menyelamatkan target pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan sebesar 60 juta ton pada tahun 2009 sebab saat kelangkaan pupuk juga terjadi secara meluas 2006, tidak ada koordinasi pada level Wakil Presiden.

Penanganan yang parsial.

Tetapi mengapa kejadian serupa itu terus berulang bahkan sudah menjadi musiman ?. Setidaknya ada empat faktor penyebabnya.

Pertama, kesejahteraan petani memang belum menjadi kebijakan utama pemerintah. Hal mana bisa dilihat pada target di bidang pertanian selama ini; peningkatan produksi, peningkatan ekspor dan perluasan lapangan kerja. Sering dijelaskan peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani. Idealnya demikian tetapi pada kenyataan tidak, sebab peningkatan produksi bisa saja tercapai tetapi yang menikmati hasilnya bukanlah petani melainkan pedagang. Karena itu kesejahteraan petani hendaknya dijadikan target utama dan tercantum secara konkrit dalam pembangunan pertanian. Sebab, petani adalah jumlah terbesar, 80 persen dari total penduduk Indonesia, dan bagian terbesar di antaranya masuk katagori miskin.

Dengan katagori demikian, negara dalam hal ini pemerintah sejatinya memberikan perlindungan maksimal, dengan menempatkan kesejahteraan mereka sebagai target utama dalam pembangunan pertanian. Selanjutnya target tsb diterjemahkan dalam berbagai program termasuk penyediaan sarana penunjang pertanian di antaranya pupuk yang terjangkau.

Kedua, upaya penyelesaian setiap masalah di bidang pertanian tidak pernah dilakukan secara matang melalui kajian yang mendalam dan konprehensif. Banyak masalah dilakukan secara sporadis dan parsial atau hanya bersifat temporer. Apa yang terjadi dengan kelangkaan pupuk sekarang menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Saat harga pupuk mahal di pasaran tahun 2006 spontan Menteri Pertanian mengatakan harga pupuk sudah saatnya dinaikkan, karena terjadi disparitas harga yang jauh antara pupuk bersubsidi dan pupuk umum. Ketika terjadi banyak penyimpangan distribusi, dengan mudah pemerintah dan DPR mengambil langkah menaikkan biaya pengawasan menjadi Rp 20 miliar ( 2008 ) dari hanya Rp 8 miliar sebelumnya. Dan ketika ada pihak yang mengeluhkan sistim terbuka pendistribusian pupuk dengan

mudah pemerintah mengubahnya menjadi sistim tertutup. Tetapi semuanya ternyata tidak menyelesaikan masalah. Jadi penanganannya seperti pemberian obat penurun panas kepada seorang pasien yang sedang panas, tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan yang mendalam tentang jenis penyakitnya, karena panas hanyalah sesungguhnya gejala, sehingga kalaupun panasnya turun tidak berarti penyakitnya sudah sembuh.

Sudah berulangkali saya mengusulkan agar anggaran untuk Departemen Pertanian dan Departemen Kelautan dinaikkan minimal 100 persen pada tahap awal, mengingat dua sektor inilah merupakan potensi dasar kita yang luar biasa tetapi terbengkalai. Dan seandainya bisa ditingkatkan, maka komponen yang harus mendapat prioritas adalah bidang penelitian guna meneliti berbagai aspek yang terkait kedua sektor tsb. Maka, soal carut marut sekitar pupuk baik subsidinya, maupun distribusinya harus dikaji terlebih dahulu secara mendalam dengan melibatkan pakar-pakar, termasuk sejumlah perguruan tinggi. Sehingga hasilnya bisa memberi solusi yang matang untuk jangka panjang.

Ketiga, pengawasan terhadap distribusi pupuk tidak fokus bahkan terkesan dibiarkan. Karena itu ada pihak-pihak yang melakukan penimbunan atau menjualnya kepada pihak yang tidak berhak dengan harga yang lebih tinggi. Dari mereka itulah petanii membeli pupuk bersubsidi yang seharusnya Rp 60.000 /zak ( urea ) menjadi Rp 70.000 – Rp 100. 000 bahkan di beberapa tempat melonjak drastis menjadi Rp 140.000

Sangat sulit memahami kalau kejahatan menimbun pupuk tidak terdeteksi. Padahal di samping pengawasan secara umum yang dilakukan pihak kepolisian, pemerintah juga membentuk KP3 ( Komisi Pengawasan Pendistribusian Pupuk ) dengan biaya yang cukup mahal. Namun baik sebelum maupun sesudah pembentukan KP3 keadaan sama sekali tidak berubah. Bandingkanlah sabu-sabu yang hitungan beberapa gram saja bisa dideteksi petugas keamanan di saku atau di tas dlsb. Sementara pupuk dengan satuan zak isi 50 kg bisa dipindahkan dan ditimbun tetapi amat jarang ditemukan. Masalahnya karena pemerintah memang menjadikan pemberantasan narkoba sebagai prioritas, sementara untuk pupuk tidak demikian.

Keempat, memang ada pihak-pihak yang berusaha memperkeruh suasana dan juga membiarkan keadaan kisruh, dengan tujuan bisa meraup keuntungan. Kelompok ini ada di sektor swasta dan juga di pemerintahan dan mereka bekerja sama. Karena kerja sama itulah, jarang ada distributor yang nakal atau penimbun pupuk yang ditindak secara tegas. Dalam banyak kasus inilah yang terjadi di negeri ini; kolaborasi antara pengusaha dan penguasa untuk meraup keuntungan dengan mengorbankan nasib rakyat kecil. Kalau bukan karena kolaborasi maka tidaklah terlalu sulit untuk mendeteksi peredaran pupuk yang sedemikian banyak, dan tidaklah susah mengaturnya karena bukan hal baru. Setidaknya dari pengalaman sebelumnya ada evaluasi untuk perbaikan dengan target waktu tertentu sehingga tidak lagi mengalami kekisruhan. Tetapi karena kolaborasi itulah, kisruh pupuk tak kunjung usai, malahan semakin menjadi-jadi.

Pemerintah yang lamban.

Keempat faktor tsb. tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait dan berjalan secara simultan. Padahal masalah yang dialami petani bukan hanya menyangkut pupuk. Harga gabah bukan sesuatu yang beres. Belum lagi faktor-faktor penunjang lainnya seperti irigasi dll. Jadi ibarat penyakit, penyakit yang melanda petani sudah sangat kronis dan komplikasi. Dan itu terjadi sebagai akibat dari sebuah pemerintah yang idiot sehingga lamban berpikir dan lamban bertindak. Sekiranya tidak, mustahil masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu bisa menjadi masalah musiman secara terus menerus.

Karena itu ada baiknya pemerintah dan seluruh aparatnya diingatkan kembali, esensii perjuangan kemerdekaan yakni mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan luhur itulah , UUD 1945 mengamanatkan perlindungan bagi seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah. Hakekat perlindungan memang bagi seluruh warga negara tanpa kecuali tetapi dalam pelaksanaannya di butuhkan kearifan dan kejelian untuk melihat mana yang harus diprioritaskan. Bisa dicontohkan sebuah bus penumpang umum mengalami kecelakaan dan sejumlah penumpang mengalami keadaan yang berbeda-beda mulai dari yang sekedar mengeluh, luka ringan sampai kepada luka berat bahkan ada yang pingsan. Secara manusiawi semua harus ditolong tetapi tentu perlu prioritas sesuai klasifikasii kondisinya. Maka yang harus mendapat pertolongan maksimal tentulah yang pingsan dan luka berat.

Demikian halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga negara harus dilindungi. Akan tetapi negara dalam hal ini pemerintah harus memiliki peta kondisi sosial ekonomi sehingga perlindungan utama haruslah diberikan kepada mereka yang lemah di antaranya petani. Sejatinya, kepada mereka inilah negara memberikan perlindungan semaksimal-maksimalnya. Pada kenyataannya pemerintah sangat lamban. Anehnya dalam kenyataan, perlindungan justru sering diberikan kepada pihak yang secara ekonomi dan politik lebih kuat, Itulah sebabnya kelangkaan pupuk yang diketahui semua pihak membuat petani semakin menderita menjadi musim yang terjadi terus menerus. Padahal saat terjadi puncak kelangkaan yang sama tahun 2006, Menteri Pertanian berulangkali menyatakan akan memperketat pengawasan melalui kordinasi intansi terkait; Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Dinas Perdagangan. Selain berjanji akan memperketat pengawasan juga berjanji akan menindak tegas mereka yang mengganggu distribusi sehingga mengakibatkan kelangkaan dan mahalnya harga pupuk. Hampir tiga tahun berlalu janji yang tegas itu disampaikan kepada khalayak melalui berbagai kesempatan dan masalah yang sama tidak berubah sedikitpun. Yang berubah justru kepekaan pemerintah menurun. Itu terlihat dari tidak tanggapnya pemerintah memberi respon ketika dari berbagai daerah muncul keluhan petani kesulitan mendapatkan pupuk dan kalaupun ada harganya sangat mahal, sampai Rp 140.000/zak yang seharusnya Rp 60.000/zak. Keadaan demikian berlangsung berminggu-minggu tanpa ada reaksi apapun. Pemerintah baru bergerak melalui rapat koordinasi Wapres setelah petanii menghadang truk-truk pengangkut pupuk dan mendatangi gudang-gudang pupuk dan membongkarnya di Jateng dan Jatim.

Sikap pemerintah demikian bukan lahir dari empati untuk memberi perlindungan bagi petani tetapi kepentingan pemerintah karena khawatir kekuasaannya terganggu. Jika untuk perlindungan petani tentunya tanpa teriakan petani sekalipun, aparat pemerintah yang bertebaran sampai ke ujung-ujung sawah pasti dengan mudah mengetahui terjadinya kelangkaan dan sesegera mungkin melaporkannya ke tingkat yang bisa mengambil keputusan dan tidak perlu menunggu sampai petani menghadang truk dan membongkar gudang pupuk. Bukankah zaman sekarang bukan lagi zaman kentongan dan asap untuk komunikasi ? Sekarang zaman pesan singkat melalui telpon genggam yang dalam hitungan detik saja kelangkaan pupuk di Probolinggo bisa ketahuan di Pasar Minggu, Kantor Departemen Pertanian.

Kalau begitu masalahnya bukan terletak pada peralatan komunikasi tetapi pada kepekaan hati nurani. Dan pemerintah idiot sudah pasti tidak bisa tanggap.

Jacobus K. Mayong Padang

Anggota Komisi IV DPR RI

Petani Kelompok Penting Yang Diterlantarkan Negara

Sebentar lagi tanggal 23 Desember akan diperingati sebagai Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Walaupun tidak semonumental Hari Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional ( HKSN ) memiliki makna yang sangat berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam proses memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, makna HKSN tidak bisa dipisahkan dengan ketiga hari bersejarah yang disebutkan tadi. Hanya saja terkadang dalam wujud peringatannya kelihatannya biasa-biasa saja bahkan sering berlalu begitu saja.

HKSN, bukan suatu peristiwa melainkan sebuah nilai yang dipatrikan agar tidak dilupakan, bahkan lebih dari itu diharapkan senantiasa menafasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab nilai yang terkandung dalamnya sangatlah bermakna yakni menyatunya tentara dan sipil terutama petani di pelosok-pelosok, bahu membahu melawan tentara Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Kala itu tentara kita bertempur dengan teknik bergerilya yang sangat terkenal. Dan dalam pengembaraannya di desa-desa, rakyatlah yang menjadi tumpuan penopang terutama masalah logistik. Sebab persiapan logistik tentara kita memang tidak mencukupi dan kalaupun tersedia, belum ada sistim angkutan yang memungkinkan untuk membawanya ke tempat-tempat persembunyian yang jauh di pedalaman dan berpindah-pindah sesuai teknik yang dipilih; perang gerilya. Maka tanpa dukungan rakyat, tentunya bagian terbesar adalah petani, mustahillah tentara kita mampu bertahan menjalankan misinya untuk melawan tentara penjajah yang baik organisasi, keahlian maupun logistik jauh lebih unggul.

Petani masih penting ?

Memperingati HKSN berarti merenungi 2 hal; pertama, kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan adalah atas menyatunya kekuatan seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali yang saling mendukung dengan peran masing-masing. Kedua, bahwa petani ternyata memiliki peran penting yang tidak bisa diremehkan apalagi diabaikan dalam perjalanan memperjuangkan, mempertahankan kemerdekaan.

Lalu apakah sekarang petani masih memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan ini teramat penting dikedepankan, melihat nasib petani yang tak kunjung membaik, dan dalam banyak hal petani tidak terurus untuk tidak mengatakan diterlantarkan. Contoh untuk membuktikan siunyalemen tsb yakni kelangkaan pupuk yang terus menerus terjadi setiap musim tanam. Hal itu merupakan gambaran jelas bahwa pemerintah tidak serius mengurus kebutuhan petani, sehingga pupuk yang menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam proses pertanian tidak pernah diurus dengan baik agar petani tidak perlu bersusah payah mencarinya dan tidak perlu membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Jika petani dilihat sebagai kelompok penting dalam kehidupan berbangsa, sudah pastilah pemerintah akan berupaya secara maksimal dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kerap menyulitkan dan membuat kehidupan petani menjadi semakin sulit.

Contoh lain yang menjadi gambaran nyata kalau pemerintah tidak serius membantu petani, yakni tidak tanggapnya pemerintah merespon keluhan petani di berbagai daerah mengenai kesulitan mereka mendapatkan pupuk akhir-akhir ini.Jika pemerintah serius maka keluhan itu tidak sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu tanpa ada respon apapun. Bukankah media-media sudah pada ramai memberitakannya selama berhari-hari ? Tetapi kenapa pemerintah tidak langsung mengadakan rapat untuk membahasnya ? Kalaupun tidak diberitakan, bukankah di daerah-daerah bahkan sampai ke tingkat pelosok sekalipun ada aparat pemerintah yang bisa mendeteksi kelangkaan tsb. sehingga tanpa teriakan petani sekalipun, para aparat di sana sudah bisa langsung melaporkannya melalui sarana komunikasi canggih/telpon genggam yang sudah menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air. Sebab aparat pemerintah melalui berbagai jalur bisa memonitor keadaan di lapangan sehingga dalam waktu yang singkat pemerintah sudah memiliki rekam kondisi di lapangan. Akan tetapi sebagaimana kita ketahui, pemerintah baru melakukan rapat koordinasi membicarakan masalah kelangkaan pupuk setelah petani berbondong-bondong mendatangi dan membongkar gudang-gudang pupuk. Atau ada juga yang menghadang truk-truk pengangkut pupuk. Jadi, kalau petani tidak menempuh tindakan-tindakan radikal seperti menghadang truk-truk pengangkut pupuk di tengah jalan, mungkin pemerintah tetap saja tidur nyenyak seakan-akan tak ada apa-apa, dan mungkin saja aparat dari bawah memang melaporkannya seperti dengan model laporanzaman Orde Baru; “ABS” asal bos senang. Tetapi keadaan demikian menjelaskan secara gamblang bahwa keadaan petani tidak termonitor dengan baik. Penyebabnya tak lain karena memang pemerintah tidak melihat petani sebagai kelompok yang memegang peranan penting sehingga harus mendapat perhatian secara sungguh-sungguh termasuk memonitor kebutuhan produksi mereka setiap saat. Kalau ada masalah sesegera mungkin dilaporkan, dan secepatnya dicarikan jalan keluar agar tidak memberatkan petani untukberproduksi. Tetapi kenyatannya pemerintah acuh dan baru bergerak setelah petani mulai bertindak radikal.

Sikap pemerintah yang acuh itulah menyebabkan masalah kelangkaan pupuk terjadi berulangkali setiap musim tanam dan tidak ada upaya untuk menyelesaikannya secara tuntas. Tidak mustahil, umumnya masyarakat bersikap seperti pemerintah, artinya tidak menganggap petani sebagai kelompok penting. Petani bahkan dianggap kelompok rendahan dalam strata sosial masyarakat. Maka nasib petani tak pernah berubah dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, karena memang tidak ada yang perduli secara serius. Bahkan organisasi tani sekalipun di masa orde baru hanya dijadikan alat untuk konsolidasi suara petani bukan untuk memperjuangkan nasib petani.

Mengubah pandangan

Pandangan yang menempatkan petani sebagai kelompok rendahan atau tidak penting sudah waktunya dilawan dan dihapus. Menurut saya memperjuangkan nasib petani harus dimulai dari cara pandang. Memulainya secara simultan di semua lini, semua kelompok masyarakat, profesi, tetapi terutama harus dimulai dari pemerintah sebab birokrasi adalah mesin penggerak masyarakat. Apalagi karena di kalangan pemerintah sendiri memang tidak menempatkan petani sebagai kelompok penting sehingga harus diurus secara serius. Saya bisa berkesimpulan demikian setelah hampir 4 tahun berinteraksi dengan pemerintah di Komisi IV DPR RI. Banyak contoh yang bisa saya kemukakan sebagai hasil interaksi yang menggambarkan ketidakperdulian pemerintah pada pemerintah. Kecewa dengan sikap yang merendahkan petani, dalam suatu rapat kerja dengan Menteri Pertanian di Komisi IV DPR RI. Dalam suatu rapat kerja dengan Menteri Pertanian, tiba-tiba mematikan mike. Sebagai mengatakan, mikenya mati, dikiranya saya tidak tahu, padahal saya memang sengaja. Saya katakan; “tanpa alat ini kita tetap bisa bicara berjam-jam. Tetapi coba kalau tidak ada makanan, berapa lama kita bisa bertahan ? Siapa yang menyediakan makanan ? Petani. Itu artinya petani adalah kelompok yang sangat penting” .Mendengar penjelasan saya demikian para petinggi Departemen Pertanian dan anggota DPR terkesima. Merfeka baru sadar kalau saya memang sengaja mematikan mike. Sebagian bahkan manggut-manggut.

Itu baru contoh kecil, namun demikian sudah memberi kejelasan bahwa petani adalah kelompok yang penting bahkan maha penting karena tidak seorang pun yang tidak butuh makanan. Hanya saja mungkin saat menghadapi makanan di meja makan apalagi di tempat-tempat pesta yang mewah dan meriah, orang terhanyut dengan kemeriahan pesta dan lezatnya makanan sehingga tak sempat mengingat bahwa makanan yang dihadapinya, yang dicicipinya, yang dinikmatinya, yang disebutnya lezat, adalah jerih payah dengan cucuran keringat para petani.

Karena itu ada baiknya melalui peringatan HKSN dimanfaatkan sebagai momentum untuk menyatukan kembali semangat membangun bangsa, dengan mengubah cara pandang selama ini yang meremehkan petani menjadi pandangan yang mengagungkan petani. Karena petani adalah kelompok yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama di republik tercinta ini karena sejak awal, petani tidak hanya sekedar penyedia makanan keseharian bagi keluarganya tetapi ikut berjuang dengan menopang logistik bagi tentara yang sedang berjuang demi terwujudnya Indonesia yang merdeka. Dengan demikian tak salah menyebut petani adalah pejuang bagi republik ini. Hanya kemudian tak terurus bahkan disepelehkan sehingga setiap musim tanam mereka harus pontang panting mencari pupuk bahkan dengan harga yang sangat mahal. Padahal urusan pupuk bukan urusan baru, bukan baru sekarang atau setahun silam, melainkan sejak dulu.Tetapi kenapa tidak pernah diselesaikan ? Itulah bukti ketidakseriusan pemerintah akibat cara pandang yang menganggap remeh para petani.

Sejatinya sebagai kelompok penting mereka harus diurus dengan baik, dengan serius, karena tanpa mereka kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan Menteri Pertanian dan DPR Komisi IV pun tidak bisa rapat tanpa makanan, seperti yang pernah saya kemukakan dalam rapat kerja, hanya untuk mengingatkan semua pihak terutama jajaran pengambil kebijakan bahwa petani adalah kelompok penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kelompok penting maka kebijakaan-kebijakan yang diambil harus melindungi dan menguntungkan para petani agar mereka bisa menikmati kesejahteraan , karena itulah cita-cita kemerdekaan. Dan bila petani sejahtera negara pasti jaya.

Jacobus K. Mayong Padang

Anggota Komisi IV DPR RI