Jumat, 19 Desember 2008

Kelangkaan Pupuk dan Pemerintah Yang Idiot

Kelangkaan pupuk yang belakangan menjadi berita hangat bahkan mulai menimbulkan kekisruhan antara lain petani menghadang truk-truk pengangkut pupuk atau mendatangi dan membongkar gudang pupuk bukanlah ceritra baru di negeri ini. Ia sudah menjadi salah satu musim rutin yang mengiringi musim tanam. Zakaria ( 41 ) petani biasa di Desa Gunungsari Kec.Haurwangi Kabupaten Cianjur mengatakan; “Saya tidak tahu kenapa setiap kali musim tanam, pupuk selalu sulit diperoleh. Harganya juga selalu naik” ( Kompas 24/11 ). Dengan demikian, kelangkaan pupuk bukanlah kejadian tiba-tiba dan bukanlah bencana yang datang tanpa bisa diprediksi lebih awal karena sudah rutin setiap musim tanam selama bertahun-tahun.

Pertanyaannya, apakah kelangkaan pupuk hanya masalah sepele sehingga dibiarkan terjadi berulang secara terus menerus ? Ternyata tidak. Buktinya Wakil Presiden H.M.Yusuf Kalla harus memimpin rapat koordinasi dengan sejumlah instansi terkait untuk mencari jalan keluar. Hanya saja kemungkinan rapat koordinasi tsb dilaksanakan lebih kepada upaya menyelamatkan target pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan sebesar 60 juta ton pada tahun 2009 sebab saat kelangkaan pupuk juga terjadi secara meluas 2006, tidak ada koordinasi pada level Wakil Presiden.

Penanganan yang parsial.

Tetapi mengapa kejadian serupa itu terus berulang bahkan sudah menjadi musiman ?. Setidaknya ada empat faktor penyebabnya.

Pertama, kesejahteraan petani memang belum menjadi kebijakan utama pemerintah. Hal mana bisa dilihat pada target di bidang pertanian selama ini; peningkatan produksi, peningkatan ekspor dan perluasan lapangan kerja. Sering dijelaskan peningkatan produksi secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani. Idealnya demikian tetapi pada kenyataan tidak, sebab peningkatan produksi bisa saja tercapai tetapi yang menikmati hasilnya bukanlah petani melainkan pedagang. Karena itu kesejahteraan petani hendaknya dijadikan target utama dan tercantum secara konkrit dalam pembangunan pertanian. Sebab, petani adalah jumlah terbesar, 80 persen dari total penduduk Indonesia, dan bagian terbesar di antaranya masuk katagori miskin.

Dengan katagori demikian, negara dalam hal ini pemerintah sejatinya memberikan perlindungan maksimal, dengan menempatkan kesejahteraan mereka sebagai target utama dalam pembangunan pertanian. Selanjutnya target tsb diterjemahkan dalam berbagai program termasuk penyediaan sarana penunjang pertanian di antaranya pupuk yang terjangkau.

Kedua, upaya penyelesaian setiap masalah di bidang pertanian tidak pernah dilakukan secara matang melalui kajian yang mendalam dan konprehensif. Banyak masalah dilakukan secara sporadis dan parsial atau hanya bersifat temporer. Apa yang terjadi dengan kelangkaan pupuk sekarang menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Saat harga pupuk mahal di pasaran tahun 2006 spontan Menteri Pertanian mengatakan harga pupuk sudah saatnya dinaikkan, karena terjadi disparitas harga yang jauh antara pupuk bersubsidi dan pupuk umum. Ketika terjadi banyak penyimpangan distribusi, dengan mudah pemerintah dan DPR mengambil langkah menaikkan biaya pengawasan menjadi Rp 20 miliar ( 2008 ) dari hanya Rp 8 miliar sebelumnya. Dan ketika ada pihak yang mengeluhkan sistim terbuka pendistribusian pupuk dengan

mudah pemerintah mengubahnya menjadi sistim tertutup. Tetapi semuanya ternyata tidak menyelesaikan masalah. Jadi penanganannya seperti pemberian obat penurun panas kepada seorang pasien yang sedang panas, tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan yang mendalam tentang jenis penyakitnya, karena panas hanyalah sesungguhnya gejala, sehingga kalaupun panasnya turun tidak berarti penyakitnya sudah sembuh.

Sudah berulangkali saya mengusulkan agar anggaran untuk Departemen Pertanian dan Departemen Kelautan dinaikkan minimal 100 persen pada tahap awal, mengingat dua sektor inilah merupakan potensi dasar kita yang luar biasa tetapi terbengkalai. Dan seandainya bisa ditingkatkan, maka komponen yang harus mendapat prioritas adalah bidang penelitian guna meneliti berbagai aspek yang terkait kedua sektor tsb. Maka, soal carut marut sekitar pupuk baik subsidinya, maupun distribusinya harus dikaji terlebih dahulu secara mendalam dengan melibatkan pakar-pakar, termasuk sejumlah perguruan tinggi. Sehingga hasilnya bisa memberi solusi yang matang untuk jangka panjang.

Ketiga, pengawasan terhadap distribusi pupuk tidak fokus bahkan terkesan dibiarkan. Karena itu ada pihak-pihak yang melakukan penimbunan atau menjualnya kepada pihak yang tidak berhak dengan harga yang lebih tinggi. Dari mereka itulah petanii membeli pupuk bersubsidi yang seharusnya Rp 60.000 /zak ( urea ) menjadi Rp 70.000 – Rp 100. 000 bahkan di beberapa tempat melonjak drastis menjadi Rp 140.000

Sangat sulit memahami kalau kejahatan menimbun pupuk tidak terdeteksi. Padahal di samping pengawasan secara umum yang dilakukan pihak kepolisian, pemerintah juga membentuk KP3 ( Komisi Pengawasan Pendistribusian Pupuk ) dengan biaya yang cukup mahal. Namun baik sebelum maupun sesudah pembentukan KP3 keadaan sama sekali tidak berubah. Bandingkanlah sabu-sabu yang hitungan beberapa gram saja bisa dideteksi petugas keamanan di saku atau di tas dlsb. Sementara pupuk dengan satuan zak isi 50 kg bisa dipindahkan dan ditimbun tetapi amat jarang ditemukan. Masalahnya karena pemerintah memang menjadikan pemberantasan narkoba sebagai prioritas, sementara untuk pupuk tidak demikian.

Keempat, memang ada pihak-pihak yang berusaha memperkeruh suasana dan juga membiarkan keadaan kisruh, dengan tujuan bisa meraup keuntungan. Kelompok ini ada di sektor swasta dan juga di pemerintahan dan mereka bekerja sama. Karena kerja sama itulah, jarang ada distributor yang nakal atau penimbun pupuk yang ditindak secara tegas. Dalam banyak kasus inilah yang terjadi di negeri ini; kolaborasi antara pengusaha dan penguasa untuk meraup keuntungan dengan mengorbankan nasib rakyat kecil. Kalau bukan karena kolaborasi maka tidaklah terlalu sulit untuk mendeteksi peredaran pupuk yang sedemikian banyak, dan tidaklah susah mengaturnya karena bukan hal baru. Setidaknya dari pengalaman sebelumnya ada evaluasi untuk perbaikan dengan target waktu tertentu sehingga tidak lagi mengalami kekisruhan. Tetapi karena kolaborasi itulah, kisruh pupuk tak kunjung usai, malahan semakin menjadi-jadi.

Pemerintah yang lamban.

Keempat faktor tsb. tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait dan berjalan secara simultan. Padahal masalah yang dialami petani bukan hanya menyangkut pupuk. Harga gabah bukan sesuatu yang beres. Belum lagi faktor-faktor penunjang lainnya seperti irigasi dll. Jadi ibarat penyakit, penyakit yang melanda petani sudah sangat kronis dan komplikasi. Dan itu terjadi sebagai akibat dari sebuah pemerintah yang idiot sehingga lamban berpikir dan lamban bertindak. Sekiranya tidak, mustahil masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu bisa menjadi masalah musiman secara terus menerus.

Karena itu ada baiknya pemerintah dan seluruh aparatnya diingatkan kembali, esensii perjuangan kemerdekaan yakni mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan luhur itulah , UUD 1945 mengamanatkan perlindungan bagi seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah. Hakekat perlindungan memang bagi seluruh warga negara tanpa kecuali tetapi dalam pelaksanaannya di butuhkan kearifan dan kejelian untuk melihat mana yang harus diprioritaskan. Bisa dicontohkan sebuah bus penumpang umum mengalami kecelakaan dan sejumlah penumpang mengalami keadaan yang berbeda-beda mulai dari yang sekedar mengeluh, luka ringan sampai kepada luka berat bahkan ada yang pingsan. Secara manusiawi semua harus ditolong tetapi tentu perlu prioritas sesuai klasifikasii kondisinya. Maka yang harus mendapat pertolongan maksimal tentulah yang pingsan dan luka berat.

Demikian halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga negara harus dilindungi. Akan tetapi negara dalam hal ini pemerintah harus memiliki peta kondisi sosial ekonomi sehingga perlindungan utama haruslah diberikan kepada mereka yang lemah di antaranya petani. Sejatinya, kepada mereka inilah negara memberikan perlindungan semaksimal-maksimalnya. Pada kenyataannya pemerintah sangat lamban. Anehnya dalam kenyataan, perlindungan justru sering diberikan kepada pihak yang secara ekonomi dan politik lebih kuat, Itulah sebabnya kelangkaan pupuk yang diketahui semua pihak membuat petani semakin menderita menjadi musim yang terjadi terus menerus. Padahal saat terjadi puncak kelangkaan yang sama tahun 2006, Menteri Pertanian berulangkali menyatakan akan memperketat pengawasan melalui kordinasi intansi terkait; Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Dinas Perdagangan. Selain berjanji akan memperketat pengawasan juga berjanji akan menindak tegas mereka yang mengganggu distribusi sehingga mengakibatkan kelangkaan dan mahalnya harga pupuk. Hampir tiga tahun berlalu janji yang tegas itu disampaikan kepada khalayak melalui berbagai kesempatan dan masalah yang sama tidak berubah sedikitpun. Yang berubah justru kepekaan pemerintah menurun. Itu terlihat dari tidak tanggapnya pemerintah memberi respon ketika dari berbagai daerah muncul keluhan petani kesulitan mendapatkan pupuk dan kalaupun ada harganya sangat mahal, sampai Rp 140.000/zak yang seharusnya Rp 60.000/zak. Keadaan demikian berlangsung berminggu-minggu tanpa ada reaksi apapun. Pemerintah baru bergerak melalui rapat koordinasi Wapres setelah petanii menghadang truk-truk pengangkut pupuk dan mendatangi gudang-gudang pupuk dan membongkarnya di Jateng dan Jatim.

Sikap pemerintah demikian bukan lahir dari empati untuk memberi perlindungan bagi petani tetapi kepentingan pemerintah karena khawatir kekuasaannya terganggu. Jika untuk perlindungan petani tentunya tanpa teriakan petani sekalipun, aparat pemerintah yang bertebaran sampai ke ujung-ujung sawah pasti dengan mudah mengetahui terjadinya kelangkaan dan sesegera mungkin melaporkannya ke tingkat yang bisa mengambil keputusan dan tidak perlu menunggu sampai petani menghadang truk dan membongkar gudang pupuk. Bukankah zaman sekarang bukan lagi zaman kentongan dan asap untuk komunikasi ? Sekarang zaman pesan singkat melalui telpon genggam yang dalam hitungan detik saja kelangkaan pupuk di Probolinggo bisa ketahuan di Pasar Minggu, Kantor Departemen Pertanian.

Kalau begitu masalahnya bukan terletak pada peralatan komunikasi tetapi pada kepekaan hati nurani. Dan pemerintah idiot sudah pasti tidak bisa tanggap.

Jacobus K. Mayong Padang

Anggota Komisi IV DPR RI

Tidak ada komentar: