Jumat, 19 Desember 2008

Menjadi Caleg, Untuk Kepentingan Siapa ?

Harian ini terbitan Kamis 9/10 memuat dua tulisan masing-masing; Tradisi Menjadi Anggota Dewan ? oleh Dwia A Tisna NK dan Dai Sebagai Caleg; Kebenaran atau Ketenaran oleh Usman Jasad. Menarik sekali karena kedua tulisan tsb disajikan bersamaan dengan hingar bingarnya pencalonan anggota legislatif mulai dari tngkat kabupaten/kota, propinsi sampai tingkat pusat, yang ditandai dengan ramainya spanduk, baliho, poster serta aneka atribut lainnya yang menampilkan wajah caleg ( calon anggota legislatif ) dengan sederetan kata-kata yang indah-indah sebagai cara mempromosikan diri agar dipilih rakyat.

Meskipun kedua tulisan tersebut berbeda nuansanya tetapi makna dasarnya sama yakni mengajukan pertanyaan tentang motivasi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bila disimak secara cermat maka kedua tulisan itu dapat disimpulkan tentang motivasi seorang caleg ada dua yakni, sebagian untuk berjuang bagi kepentingan rakyat, memperjuangkan nilai-niulai kebenaran dan sebagian demi kepentingan diri sendiri. Akan tetapi manakala pertanyaan tsb disampaikan kepada para caleg, maka sudah dapat dipastikan para caleg akan memberi jawaban seragam; berjuang untuk kepentingan rakyat/menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bahkan tanpa ditanya pun para caleg sudah menyampaikannya itu melalui berbagai atribut kampanye yang sekarang memenuhi kota dan meluap sampai ke desa-desa. Bila mencermati kalimat-kalimat yang terpampang di setiap spanduk, baliho, poster dll sungguh tidak meragukan bahwa para caleg adalah orang-orang yang mempertaruhkan hidupannya demi kepentingan orang banyak, demi kebenaran dan keadilan.


Memahami Pergulatan Kehidupan Rakyat

Sepintas kelihatan bidang politik adalah bidang yang mudah dilakoni; cukup menjadi pengurus partai lalu menjadi caleg atau lebih mudah lagi tunggu masa penacolnan yang sekali setiap lima tahun lalu mengajukan diri menjadi caleg dan bila terpilih jadilah anggota dewan yang menghadiri sidang-sidang membahas anggaran, membahas Peraturan Daerah, UU dan mengawasi eksekutif. Tetapi apabila mengkajinya secara mendalam fungsi dan hakekat dewan sesungguhnya bukan sebuah aktifitas yang gampang dilakoni. Meskipun berdasarkan konstitusi, legislatif sejajar dengan institusi negara lainnya yakni eksekutif dan yudikatif, tetapi sejatinya legislatif memiliki fungsi yang jauh lebih penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab lembaga inilah yang memiliki kedekatan emosional langsung dengan rakyat sang pemilik kedaulatan. Dengan demikian penghayatan yang mendalam tentang hakekat aspirasi rakyat dan mengolahnya menjadi bahan masukan bahkan bisa menjadi tuntutan kepada eksekutif melalui program dan kebijakan-kebijakan, menjadi bagian yang teramat penting bagi seorang anggota dewan. Penghayatan tsb tidaklah mudah, karena harus melalui pengalaman-pengalaman yang bersentuhan langsung dengan pergulatan hidup rakyat. Sebagai contoh tidaklah mudah memahami pergulatan hidup petani terutama petani gurem yang oleh Bung Karno disebut Kaum Marhaen. Itulah sebabnya sampai hari ini kehidupan petani tak kunjung berubah menjadi sejahtera karena tidak banyak wakil rakyat di dewan pada semua tingkatan yang memahami denyut pergumulan petani lalu kemudian menuangkannya dalam bentuk tuntutan kepada eksekutif sehingga melahirkan program-program yang memihak kepada petani. Tetapi saat-saat menjelang pemilu hampir semua partai dan juga para caleg menyatakan akan berjuang memperbaiki nasib petani meskipun dengan kalimat yang agak berbeda. Menurut Komaruddin Hidayat ( kini Rektor UIN Jakarta ) siapapun politisi, entah duduk di eksekutif maupun legislatif, ingin mencitrakan diri bersih, cinta bangsa,` dan benar-benar bekerja untuk rakyat ( Politik Panjat Pinang hal 74 ).

Tetapi pencitraan dengan kata-kata itu sendiri tidak langsung diikuti dengan tindakan konkrit, bahkan bisa yang terjadi justru kontroversi. Itulah sebabnya Benny Susetyo pengamat masalah sosial politik mengatakan; “tidak ada satupun partai politik ( yang tentu direpresentasikan kader-kadernya di legislatif ) di Indonesia yang benar-benar berjuang secara serius untuk kepentingan rakyat”. Yang terjadi katanya, partai-partai politik/petugas-petugas partai hanya berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat ( Disorientasi Parpol, Suara Pembaruan 8/10 - 2007 ). Itu hanya salah satu contoh ketidakmampuan para anggota dewan memahami denyut masalah kehidupan petani dan akibatnya petani yang jumlahnya tidak kurang dari 100 juta orang tak kunjung mengalami perbaikan kehidupan secara berarti. Padahal peringatan akan nasib petani sudah dikumandangkan jauh sebelum kemerdekaan seperti disampaikan Bung Karno : “ saya menganjurkan jangan sampai marhaen nanti menjadi pengupas nangka, yang hanya mendapat bagian getahnya saja”( Di Bawah Bendera Revolusi hal. 288 ). Apa yang terjadi sekarang ? Kaum Marhaen, di antaranya petani tetap menjadi pengupas nangka, tetapi tidak menikmati nangkanya, tidak menikmati kemerdekaan padahal esensi kemerdekaan adalah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Jika ditanyakan apa yang menjadi penyebabnya, maka tidak lain adalah kegagalan para wakil rakyat mengartikulasikan kepentingan petani dalam bentuk kebijakan. Padahal semua calon anggota legislatif manakalah sedang berkampanye tak satupun yang tak berjanji akan berjuang bagi kepentingan rakyat, tentunya termasuk kaum petani.


Caleg instan.

Lalu dimana letak kegagalan tsb. Salah satu faktor kegagalan para wakil rakyat mengartikulasikan kepentingan rakyat karena partai yang bertanggung jawab merekrut calon tidak mampu melakukan pendidikan politik untuk mendidik dan melatih para calon

untuk dua hal pokok; kemampuan menyendengkan telinga untuk mendengarkan denyut kehodupan rakyat dan kemampuan mengelolahnya menjadi agenda perjuangan. Tetapi ali-ali membina, banyak calon-calon yang direkrut begitu saja menjelang pencalonan, atau karena kebetulan orang tuanya sedang memegang kekuasaan di partai, sehingga ibarat pemain bola, direkrut menjelang pertadingan dan langsung diterjunkan ke medan tanding tanpa pernah dengar pengarahan bagaimana menjempuit bola dan kemudian teknik membawanya untuk dikelolah menjadi gol. Serba instan hanya karena ada peluang berdasar pertimbangan-pertimbangan subjektif, padahal pertimbangan subjektif seperti itulah yang dulu dikecam di zaman Orde Baru dengan banyaknya lingkup kerabat pejabat yang dijadikan calon anggota legislatif. Saat itu pencalonan terkenal dengan istilah AMPI ( Anak, Menantu, Ponakan, Istri ) yang disoroti karena pada akhirnya melahirkan anggota legislatif yang tidak berkualitas dan tidak memiliki keberanian memperjuangkan aspirasi rakyat yang akhirnya popular dengan istilah 4D. Masalahnya karena penentuannya hanya berdasar pilihan subjektif dan tanpa pengalaman apapun di bidang politik. Tetapi aneh, kondisi demikian kini mulai subur, padahal itulah yang disoroti Dwia A Tina, para anggota dewan akan menjadi ascriptive status; memperoleh status ( sebagai anggota dewan) semata karena tradisi atau berbagai perangkat psiko emosional, misalnya karena keturunan. Jadi bukan achieved status; yakni memperoleh status sosial berdasar perjuangan dan prestasi yang rasional, atau menurut Komaruddin Hidayat, terpilih karena benar-benar melalui proses seleksi dari bawah karena prestasi moral, intelektual dan pengabdiannya pada masyarakat. Apa yang dimaksudkan baik Dwia A Tina maupun Komaruddin Hidayat ialah perluhnya sebuah proses rasional objektif yang matang dan itu akan membekali para calon berkemampuan untuk mengagregasi kepentingan-kepentingan rakyat secara nyata. Penyimpangan dari proses tsb, hanya akan melahirkan anggota dewan yang hanya dimaknai sebatas simbol formalitas, bukan fungsional atau menurut istilah Usman Jasad hanya untuk ketenaran bukan untuk kebenaran. Dan pada gilirannya tidak ada yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat seperti diutarakan Benny Susetyo.

Pada akhirnya kembali kepada kita semua terutama para elit politik yang diberikan kekuasaan, apakah kekuasaan tsb akan dimanfaatkan untuk memperbaiki nasib bangsa yang semakin runyam, atau justru sebaliknya semakin merunyamkan nasib bangsa dengan menampilkan calon-calon anggota legislatif instan.

Jacobus K. Mayong Padang

Anggota DPR RI

1 komentar:

Unknown mengatakan...

banyak orang jadi caleg untuk kepentingan diri sendiri

merdeka!!!