Harian ini terbitan Kamis 9/10 memuat dua tulisan masing-masing; Tradisi Menjadi Anggota Dewan ? oleh Dwia A Tisna NK dan Dai Sebagai Caleg; Kebenaran atau Ketenaran oleh Usman Jasad. Menarik sekali karena kedua tulisan tsb disajikan bersamaan dengan hingar bingarnya pencalonan anggota legislatif mulai dari tngkat kabupaten/kota, propinsi sampai tingkat pusat, yang ditandai dengan ramainya spanduk, baliho, poster serta aneka atribut lainnya yang menampilkan wajah caleg ( calon anggota legislatif ) dengan sederetan kata-kata yang indah-indah sebagai cara mempromosikan diri agar dipilih rakyat.
Meskipun kedua tulisan tersebut berbeda nuansanya tetapi makna dasarnya sama yakni mengajukan pertanyaan tentang motivasi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bila disimak secara cermat maka kedua tulisan itu dapat disimpulkan tentang motivasi seorang caleg ada dua yakni, sebagian untuk berjuang bagi kepentingan rakyat, memperjuangkan nilai-niulai kebenaran dan sebagian demi kepentingan diri sendiri. Akan tetapi manakala pertanyaan tsb disampaikan kepada para caleg, maka sudah dapat dipastikan para caleg akan memberi jawaban seragam; berjuang untuk kepentingan rakyat/menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bahkan tanpa ditanya pun para caleg sudah menyampaikannya itu melalui berbagai atribut kampanye yang sekarang memenuhi
Tetapi pencitraan dengan kata-kata itu sendiri tidak langsung diikuti dengan tindakan konkrit, bahkan bisa yang terjadi justru kontroversi. Itulah sebabnya Benny Susetyo pengamat masalah sosial politik mengatakan; “tidak ada satupun partai politik ( yang tentu direpresentasikan kader-kadernya di legislatif ) di
Jika ditanyakan apa yang menjadi penyebabnya, maka tidak lain adalah kegagalan para wakil rakyat mengartikulasikan kepentingan petani dalam bentuk kebijakan. Padahal semua calon anggota legislatif manakalah sedang berkampanye tak satupun yang tak berjanji akan berjuang bagi kepentingan rakyat, tentunya termasuk kaum petani.
Caleg instan.
untuk dua hal pokok; kemampuan menyendengkan telinga untuk mendengarkan denyut kehodupan rakyat dan kemampuan mengelolahnya menjadi agenda perjuangan. Tetapi ali-ali membina, banyak calon-calon yang direkrut begitu saja menjelang pencalonan, atau karena kebetulan orang tuanya sedang memegang kekuasaan di partai, sehingga ibarat pemain bola, direkrut menjelang pertadingan dan langsung diterjunkan ke medan tanding tanpa pernah dengar pengarahan bagaimana menjempuit bola dan kemudian teknik membawanya untuk dikelolah menjadi gol. Serba instan hanya karena ada peluang berdasar pertimbangan-pertimbangan subjektif, padahal pertimbangan subjektif seperti itulah yang dulu dikecam di zaman Orde Baru dengan banyaknya lingkup kerabat pejabat yang dijadikan calon anggota legislatif. Saat itu pencalonan terkenal dengan istilah AMPI ( Anak, Menantu, Ponakan, Istri ) yang disoroti karena pada akhirnya melahirkan anggota legislatif yang tidak berkualitas dan tidak memiliki keberanian memperjuangkan aspirasi rakyat yang akhirnya popular dengan istilah 4D. Masalahnya karena penentuannya hanya berdasar pilihan subjektif dan tanpa pengalaman apapun di bidang politik. Tetapi aneh, kondisi demikian kini mulai subur, padahal itulah yang disoroti Dwia A Tina, para anggota dewan akan menjadi ascriptive status; memperoleh status ( sebagai anggota dewan) semata karena tradisi atau berbagai perangkat psiko emosional, misalnya karena keturunan. Jadi bukan achieved status; yakni memperoleh status sosial berdasar perjuangan dan prestasi yang rasional, atau menurut Komaruddin Hidayat, terpilih karena benar-benar melalui proses seleksi dari bawah karena prestasi moral, intelektual dan pengabdiannya pada masyarakat. Apa yang dimaksudkan baik Dwia A Tina maupun Komaruddin Hidayat ialah perluhnya sebuah proses rasional objektif yang matang dan itu akan membekali para calon berkemampuan untuk mengagregasi kepentingan-kepentingan rakyat secara nyata. Penyimpangan dari proses tsb, hanya akan melahirkan anggota dewan yang hanya dimaknai sebatas simbol formalitas, bukan fungsional atau menurut istilah Usman Jasad hanya untuk ketenaran bukan untuk kebenaran. Dan pada gilirannya tidak ada yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan rakyat seperti diutarakan Benny Susetyo.
Pada akhirnya kembali kepada kita semua terutama para elit politik yang diberikan kekuasaan, apakah kekuasaan tsb akan dimanfaatkan untuk memperbaiki nasib bangsa yang semakin runyam, atau justru sebaliknya semakin merunyamkan nasib bangsa dengan menampilkan calon-calon anggota legislatif instan.
Jacobus K. Mayong Padang
Anggota DPR RI
1 komentar:
banyak orang jadi caleg untuk kepentingan diri sendiri
merdeka!!!
Posting Komentar