Minggu, 27 Januari 2008

Kaum Marhaen, Bersabarlah atau Bangkit Berjuang

Tiba-tiba saja saya terpikir untuk menulis dengan judul ini setelah rapat sehari penuh di ruang Komisi IV DPR RI Senin 21 Januari 2008. Saat itu adalah Rapat Kerja antara Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian membahas berbagai masalah seputar kekisruhan pertanian dan sudah barang tentu termasuk masalah kelangkaan kedelai yang sedang menjadi berita hangat bersamaan dengan pemberitaan perawatan mantan Presiden RI Soeharto. Saya tertarik untuk menulis karena rapat seharian itu akhirnya menjadi gambaran bagi saya betapa sulitnya para penentu kebijakan di republik ini memahami kesulitan Kaum Marhaen di antaranya petani. Maka pantaslah kalau sampai hari ini di saat negara ini berada pada tahun ke 63 merebut kemerdekaannya, 63 tahun lamanya bangsa ini menatap kehidupannya sendiri secara bebas, kehidupan Kaum Marhaen secara umum tak kunjungt membaik.

Sebelum melanjutkan hakekat masalah yang mendorong saya menuangkan pengalaman di rapat komisi, terlebih dahulu secara singkat saya harus menjelaskan siapakah yang dimaksud dengan Kaum Marhaen. Karena mungkin bagi banyak orang istilah itu sudah sedemikian asing sama sekali karfena jarang mendengarnya atau sekedar sayup-sayup.. Sebagian lagi mungkin pernah mendengarnya tetapi tidak paham sesungguhnya siapakah yang dimaksud Marhaen atau juga tahu dan paham tetapi takut menyebut atau memakainya karena trauma dengan kekuasaan Orde Baru. Sebab istilah Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme populer di zaman pemerintahan Bung Karno sementara penguasa Orde Baru yang melakukan kudeta terhadap Bung Karno berusaha menghapus seluruh hal-hal yang berbau atau bersentuhan dengan atau hidup di zaman Soekarno. Seperti halnya ucapan Merdeka menjadi asing dan kini dianggap hanya salam PDI Perjuangan, padahal Merdeka adalah salam nasional yang dipakai secara resmi pada kesempatan apa saja baik resmi maupun tidak resmi termasuk dalam pergaulan sehari-hari seperti halnya “kulonuwun” pada masyarakat Jawa dan “horas” di kalangan masyarakat Batak. Tetapi salam nasional itu kemudian direduksi rezim Orde Baru, sekali lagi untuk menghilangkan semua hal yang popular di zaman Soekarno sebelumnya bersamaan dengan politik de-Soekarnoisasi. Padahal itu sama sekali bukan milik Soekarno tetapi resmi adalah salam nasional, jadi sudah menjadi milik nasional, milik bangsa, dan menjadi modal kuat karena dapat menmguatkan ikatan kebersamaan. Sama halnya dengan Bahasa Melayu yang kemudian bukan lagi milik masyarakat Melayu semata tetapi sudah menjadi milik nasional dan menjadi aset luar biasa karena menjadi alat komunikasi dan pemersatu di nusantara ini.

Begitulah cara penguasa Orde Baru mematahkan kekuasaan Bung Karno yang dikudeta, semua hal-hal yang ada sebelumnya dilarang atau diubah sekalipun hal itu adalah aset nasional seperti halnya Salam Merdeka. Kecuali Pancasila tetapi itupun direkayasa sedemikian rupa bahwa Bung Karno bukanlah penggalinya. Lebih tragis lagi Marhaen, disebut bukanlah nama orang tetapi sebuah imajinasi Bung Karno belaka dan Marhaenisme sesungguhnya adalah Marxis yang diterapkan di Indonesia. Luar biasa memang cara pemerintah Orde Baru menebar ketakutan karena di saat itu ajaran Marxis tidak dibolehkan hadir, dilarang maka menyebutnya pun menjadi sesuatu yang menakutkan apalagi mendiskusikannya.


Nama Petani Miskin.
Marhaen adalah nama seorang petani miskin di daerah Bandung Selatan yang ditemukan Bung Karno dalam pengembarannya untuk merumuskan kondisi yang umum di kalangan rakyat Indonesia saat itu. Ia sengaja membolos tidak ikut kuliah dan terus mengayuh sepedanya hingga sampai di daerah persawahan dan menemukan seorang petani dengan lahan yang sangat kecil, gubuk kecil dan sangat sederhana. Bung Karno yang sedang gundah menatap bangsanya hidup miskin dan dijajah, kemudian berdialog dengan sang petani. Dialog terbuka berlangsung di tengah sawah di bawah terik mentari. Dialog dengan tetap berdiri pada posisi masing-masing; sang petani di tengah sawahnya memegang cangkul dan Bung Karno berdiri di atas pematang, memberi gambaran bahwa si petani itu memiliki peralatan sendiri dan hasil pertanian mereka untuk dikonsumsi sendiri bersama seorang istri dan empat anak. Bagi Bung Karno itulah gambaran kondisi mayoritas bangsanya yang hanya memiliki modal kecil, bekerja sendiri untuk kebutuhan keluarganya sendiri dan hidup miskin turun temurun. Maka ketika petani itu menyebut namanya Marhaen, serta merta Bung Karno yang kala itu sedang kuliah di ITB mengambil nama itu untuk menyebut komunitas bagian terbesar rakyat Indonesia yang memiliki nasib yang sama. “Aku akan memakai nama itu (Marhaen) untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak itu kunamakan rakyatku “Marhaen” kata Bung Karno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dengan demikian Marhaen bukanlah nama asing, atau idiologi asing atau imajinasi semata, tetapi sebuah fakta fisik dan sosiologis dari seorang petani yang hidup di Bandung Selatan. Kuburnya sekarang bisa ditemukan bahkan sudah dipugar oleh pengusaha perumahan Batu Nunggal sebuah perusahan pengembang perumahan yang berkelas di Bandung. Makam Marhaen berada di belakang perumahan Batu Nunggal dan tetap dipelihara anak dan cucunya.
Jelaslah menurut Bung Karno, kaum Marhaen adalah rakyat Indonesia yang hanya memiliki modal yang sangat terbatas dan tidak ada yang membantunya dan karena itu tidak bisa mengembangkan kehidupannya. Kondisi kehidupannya tidak berubah dari tahun ke tahun bahkan dari generasi ke generasi. Soekarno mencatat kaum Marhaen adalah jumlah yang terbanyak di antara sekitar 70 juta penduduk Indonesia saat itu. Bagi Bung Karno, Bung Hatta dkk, terhadap kelompok inilah harus dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kehidupan mereka. Negara harus berperan mengayomi, memfasilitasi Kaum Marhaen karena kalau tidak mereka tidak bisa berbuat banyak untuk meningkatkan taraf kehidupannya akibat minimnya modal mereka dan terbatasnya pengetahuan dan keterampilan mereka. Tetapi apa yang terjadi setelah 63 tahun kita merdeka jumlah Marhaen di republik tetap merupakan jumlah terbanyak di antara 220 juta penduduk dewasa ini. Kondisi kehidupan mereka sangatlah memprihatinkan. Yang lebih memiriskan batin kita karena mereka sering dipermainkan para pemilik modal, misalnya saat akan menanam,` harga pupuk menjadi sangat mahal karena para pedagang pupuk memainkan pasar demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar di saat petani sangat membutuhkannya. Tugas negara adalah melindungi mereka, dan untuk itulah sejumlah instansi ditugaskan mengatur produksi dan tata niaga pupuk. Tetapi apa yang terjadi saat saya mengetik tulisan ini,` Metro TV menyiarkan berita mahalnya harga pupuk di daerah Banten akibat kelangkaan.
Mereka, kaum Marhaen tetap yang terbanyak di republik ini. Mereka adalah petani, nelayan, pedagang kecil termasuk pedagang kaki lima dll. Selain keterbatasan modal, pengetahuan dan keterampilan, mereka juga lemah secara politis karena mereka tidak bisa menentukan kebijakan karena tidak memiliki organisasi yang kuat, tidak memiliki akses atau kemampuan mempengaruhi kebijakan karena mereka tidak memiliki alat tawar. Tetapi yang lebih menyedihkan para penentu kebijakan tidak peka terhadap keadaan mereka dan akibatnya kurang yang memihak mereka. Itulah gambaran yang terjadi di ruang KK IV DPR RI, ruang rapat Komisi IV tgl 21 Januari saat berlangsung rapat kerja. Rapat yang berlangsung sehari penuh, pagi hingga malam itu terasa benar beratnya para penentu kebijakan di ruangan itu memihak bagi kaum Marhaen. Padahal idiom-idiom, slogan-slogan yang senantiasa diperdengarkan sungguhlah menggembirakan seperti : pro poor ( memihak kepada yang miskin ), berjuang demi rakyat, berpihak kepada rakyat dll. Tetapi pada kenyataan, memihak rakyat dalam hal ini kaum Marhaen menjadi sesuatu yang tidak mudah.

Ganti rugi karena kebanjiran
Pada rapat tsb. saya mengusulkan penggantian kerugian seluruh biaya produksi bagi petani yang arealnya terendam banjir mengakibatkan padinya puso. Usul tsb bukan baru, sejak tahun lalu saat penyusunan APBN 2008, tetapi tidak diakomodir secara maksimal. Memang Departemen Pertanian sudah menyampaikan konsep bantuan tetapi tidak tegas bahkan terkesan sporadis. Buktinya Deptan hanya mengajukan bantuan untuk bibit dan juga bantuan lain yang diharapkan dari APBD Propinsi dan Kabupaten. Konsep tsb. menunjukkan ketidakseriusan pemerintah untuk melindungi Kaum Marhaen dalam hal ini petani. Sebab, harga bibit hanyalah sebagian dari biaya yang dibutuhkan petani dalam proses tanam untuk satu kali musim tanam. Padahal seperti dikatakan Bung Karno, Marhaen itu modalnya sangat kecil, jadi kalau hanya dibantu bibit, biaya lainnya dari mana? Seperti kebiasaannya, mereka pasti mencari pinjaman dan yang jadi jaminannya adalah padi yang akan ditanam. Jadi sebelum ditanam mereka sudah menjualnya terlebih dahulu dan itu berarti mereka bukan penentu harga melainkan pemilik modal. Itulah yang melingkupi kehidupan petani, kaum Marhaen selama ini, dan itu pulalah antara lain penyebab kenapa kelompok ini tidak kunjung mengalami kemajuan.

Dalam kondisi ketidakberdayaan mereka secara ekonomi ditambah bencana banjir yang menimpanya, negara dalam hal ini pemerintah harus mengambil langkah perlindungan dengan mengganti seluruh biaya produksi yang besarnya sekitar Rp 5 juta/ha. Tidak bisa parsial, misalnya hanya untuk pembelian benih tetapi harus menyeluruh.
Sumbernya pun hendaknya tidak dibagi-bagi karena dengan cara itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Sebab pasti ada daerah yang mengalokasikannya ada pula yang tidak, ada yang cepat dan ada yang lamban, ada yang maksimal dan ada yang tidak. Karena itu menurut saya konsep yang diajukan Departemen Pertanian yang pada saat raker dibacakan Menteri Pertanian Anton Priantono didampingi seluruh jajaran pejabat eselon I bahkan sebagian eselon II dan III adalah konsep yang tidak serius, hanya sporadis dan sepintas lalu. Konsep tsb hanya semacam hiburan bukan penyelesaian masalah. Ibarat obat bagi orang sakit hanya sekedar penenang bukan untuk penyembuhan. Karena itu saya meminta Deptan memberikan ganti rugi secara menyeluruh dan dari satu sumber yaitu APBN. Saya minta perhatian serius sebagai bentuk kepemihakan pemerintah pada Kaum Marhaen yang memang karena keadaannya harus mendapat perlindungan.

Hal itu memang akhirnya disetujui tetapi setelah melalui perdebatan sengit dan tidak mudah. Proses itulah yang menyadarkan saya bahwa keberpihakan negara, dalam hal ini penentu kebijakan kepada kalangan Marhaen masih sangat kecil. Juga menyadarkan saya kenapa tingkat kesejahteraan kaum Marhaen sampai sekarang belum membaik. Penyebabnya tak lain karena pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada mereka. Karena itu, wahai Kaum Marhaen ada dua pilihan; tetaplah bersabar atau bangkit berjuang.

Jacobus kamarlo mayong padang
Komisi IV DPR RI

Tidak ada komentar: