Minggu, 06 Januari 2008

Menyedihkan, “Posko” Pembentukan Negara Republik Indonesia Terbengkalai

Bila suatu saat anda melintas di Jl. Ibu Inggit Ganarsih dan sama sekali tidak tahu menahu siapa gerangan pemilik nama yang diabadikan menjadi nama jalan di tengah Kota Bandung itu tentu tak ada masalah sama sekali. Kening anda mungkin hanya dikerutkan kemacetan atau bau sampah yang memang belum bersih di seantero Bandung setelah pernah mendapat gelar Bandung lautan sampah. Tetapi manakalah anda adalah salah seorang yang menaruh kecintaan mendalam buat republik tercinta ini dan paham sejarah perjalanan pembentukannya sekaligus menaruh hormat bagi mereka yang telah berjerih payah membidaninya, maka pasti anda akan kecewa berat bila sampai ke rumah no. 8. Sebab rumah mungil yang kini tenggelam di antara bangunan tinggi pada no 6 di sebelah kiri dan no 12 di kanannya dan di belakang jejeran lapak pedagang barang loak, tak memberi kesan apa-apa sedikitpun.

Gbr kiri : Rumah Inggit Garnarsih di belakang pohon kini tenggelam di antara bangunan tinggi dan pedagang kaki lima sehingga tak memberi kesan apapun. Padahal rumah tsb adalah tempat penting sebagai "Posko" Pendirian Negara RI.

Gbr kanan: Rumah di Jl. Inggit Ganarsih No. 8 Bandung milik Inggit Ganarsih tempat Bung Karno memulai perlawanan untuk merebut kemerdekaan, kini terbengkalai. Di depannya penuh pedagang, dan tak ada papan petunjuk sementara bagian dalamnya kosong tak memberi kesan apapun. Pantas saja selama dua tahun 2006 - 2007 jumlah pengunjung hanya 46 orang saja.

Tak ada petunjuk apapun kecuali di depan pagar bagian luar tertulis dilarang berjualan namun tak dihiraukan para pedagang barang loak. Melangkah masuk akan lebih mengecewakan lagi karena sama sekali tak ada petunjuk apapun selain keadaannya sebagai rumah biasa yang tak terurus. Dengan kondisi yang terbengkalai, maka bagi mereka yang tidak pernah membaca atau kurang perduli sejarah tak akan pernah membayangkan kalau justru di rumah itulah 70an tahun silam tinggal suami istri yang hidupnya sepenuhnya dicurahkan untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman kolonial. Tetapi bukan sekedar tempat tinggal melainkan di sanalah Bung Karno terutama dan juga kawan-kawannya memikirkan serta menggerakkan langkah-langkah pendirian sebuah negara yang merdeka dari penindasan kaum imperialis. Dan, di belakang semua itu adalah Ibu Inggit Garnasih yang lebih melekat sebagai pemilik rumah, mungkin karena ia tinggal di sana sampai akhir hayatnya 1984, adalah orang yang paling sibuk mengurus segala macam kebutuhan guna menunjang aktifitas pergerakan Soekarno serta melayani tetamu yang bisa sampai subuh bahkan menginap.

Ketangguhan Seorang Inggit Garnasih
Tak hanya kerepotan urusan rumah tangga, perempuan tangguh yang kemudian setia menemani Bung Karno bertahun-tahun selama pembuangan di Ende dan Bengkulu, harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan, peran yang tak kalah pentingnya bagi kelahiran republik ini ialah menjadi pemberi semangat, nasehat, dorongan dan ayoman bagi Bung Karno. Itulah sebabnya saat Bung Karno ditahan di penjara Banceuy, ia rutin mengantar makanan walau ia harus amenerima bentakan dari petugas penjara. Begitupula saat Bung Karno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin yang sangat jauh, Ibu Inggit tetap ke sana walau harus berjalan kaki karena tak punya uang untuk naik delman dan pulang basah kuyup diguyur hujan keras sehingga larut malam baru tiba di rumah. Namun kesulitan keuangan ia tak ceritrakan bagi Kusno, begitu ia memanggil suaminya, karena baginya ke penjara menemui sang suami adalah untuk mengantarkan makanan, memberikan informasi dengan cara sandi dan yang tak kalah pentingnya memberikan semangat bagi sang pejuang agar tak kehilangan semangat. Karena itu urusan kesulitan dapur baginya tak layak untuk diceritrakan agar tidak menambah kacau pikiran sang suami yang tengah berkonsentrasi penuh bagi pembebasan bangsanya.

Berjalan kaki ke Penjara Sukamiskin untuk menyemangati sang suami walaupun dengan menguras tenaga hanyalah secuil dari setumpuk derita yang pernah dialami Bu Inggit Garnasih sang pemilik rumah di Jl Bu Inggit Qarnasih No 8 Bandung yang dulu bernama Jl Ciateul. Kisah piluh itu hanyalah sebaris kisah dari berpuluh, beratus bahkan beribu-ribu kepiluhan lainnya yang pernah ia alami. Demikian halnya Bung Karno tak sedikit suka duka yang ia alami saat berdiam di sana sejak 1926 tiga tahun setelah menikahi Inggit. Rangkaian kerepotan bahkan sampai pada tingkat kesulitan tak mungkin habis tertulis pada hanya sejilid buku bila semua harus dikisahkan. Sebabnya, karena di sana berdiam seorang Soekarno yang kala itu menjadi mesin pergerakan maka sudah barang tentu tingkat kesibukan di rumah itu menjadi luar biasa. Diskusi bisa sampai subuh, sementara daya dukung berupa keuangan sangat terbatas. Tagal itulah Bu Inggit tetap berjualan macam-macam dagangan seperti pakaian perempuan yang dijahitnya sendiri, bedak, rokok dll, hanya agar denyut perjuangan tak berhenti. Tak salah untuk menyebut tempat tersebut sebagai pusat pergerakan atau bila mengacuh istilah sekarang di sanalah “Posko Pendirian Negara Republik Indonesia” di mana Bung Karno menjadi ketua dan Inggit Garnasihlah yang menjadi sekertaris yang harus menanggung kerepotan yang luar biasa. Di sanalah lahir PNI 4 Juli 1927 partai politik yang pertamakali secara terbuka dan tegas bahkan dianggap radikal, menuntut kemerdekaan Indonesia. Maka ketika Bung Karno sebagai pimpinan partai di tahan bersama Gatot. Maskun dan Supriadinata dan tidak boleh dijenguk orang kecuali istrinya walau dengan waktu yang sangat terbatas, Inggitlah yang menyambungkan komunikasi antara Bung Karno di penjara dengan kawan-kawannya di luar dengan cara sandi. Misalnya, telur rebus Bung Karno harus ditelitinya dengan seksama sebelum makan sebab itu bukan hanya makanan semata tetapi juga alat komunikasi. Satu tusukan peniti berarti kabar baik, dua berarti ada kawan yang tertangkap dan tiga artinya sedang terjadi penggerebekan secara besar-besaran. Tetapi kalau telur asin itu tanda kabar buruk. Detail kabar buruk itu akan diteliti lagi melalui tusukan jarum pada Alquran atau buku-buku agama karena hanya itulah yang diperbolehkan. Itulah sebabnya Inggit harus tetap datang ke Banceuy walau dengan susah payah dan harus menerima bentakan hanya untuk 2 hal yang maha penting ; komunikasi antara pimpinan partai yang sedang terbelenggu di balik jeruji dengan kawan-kawan di luar tidak terputus, dan memberi semangat bagi sang suami yang kala itu masih teramat belia, 28 tahun dan harus terpenjara sementara kedua orang tua; Raden Soekemi Sosrodihardjo ayah dan Ida Ayu Nyoman Rai ibu serta Sukarmini sang kakak teramat jauh di Blitar sehingga tak memungkinkan untuk bisa hadir setiap saat menyemangatinya. Kawan-kawan seperjuangan tidak dibolehkan karena memang tujuan mempenjarakan ketiga pimpinan teras PNI itu tak lain agar gerak partai mereka terhenti . Jadi Inggitlah satu-satunya pemberi semangat dan itu diakui Soekarno. Bahkan berjalan kaki ke Penjara Sukamiskin walau dengan jarak yang sangat jauh karena sedang tak punya uang. Semua itu diulakukannya hanya demi satu hal; agar denyut perjuangan tak berhenti karena sejak menikah dengan Kusno, Inggit ikut terbakar semangat perjuangan untuk memerdekakan Bangsa Indonesia.

Semangat untuk memerdekakan bangsanyalah membuat perempuan kelahiran Desa Kamasan Banjaran Bandung 17 Februari 1888 itu disertai karakternya membuatnya begitu tegar menjalani masa sulit, hanya agar Soekarno yang begitu ia cintai tak lemas dalam perjuangan. Tepatlah dengan namanya Garnasih yang berasal dari Hegar Asih yang berarti kasih sayang yang menghidupkan karena atas kasihsayangnyalah Bung Karno bisa tetap bersemangat menahan siksaan di penajara yang ia gambarkan :”kupikir lebih mati” keluhnya sebelum Inggit diperbolehkan menjenguknya setelah 40 hari ditahan di Banceuy. Barulah ketika Inggit menjenguknya, semangatnya mulai pulih.

Terbengkalai
Sayang teramat sayang, rumah di Jl Bu Inggit Garnasih No 8 tempat dimana mesin perjuangan kemerdekaan dimulai dan terus digerakkan, tempat dimana benih pergerakan mulai disemai, kini terbengkalai, tenggelam di antara derap bisnis. Kiri kanannya ada toko menjulang, depannya dipenuhi pedagang barang loak. Terpendam di tengah kesibukan Pemerintah memacu pembangunan. Terbengkalai di tengah gegap gempitanya perebutan kekuasaan. Tak ada yang serius menaruh perhatian untuk membenahinya agar jejak sejarah perjuangan tak sirna. Sesekali pada saat upacara memang ada hening cipta tetapi hanya beberapa detik sehingga perenungan tak sampai ke sana. Mungkin juga karena hening cipta dialihfungsikan menjadi doa, padahal porsi doa disediakan tersendiri.

Hening Cipta dimaksudkan untuk bermeditasi sesaat, untuk berkontemplasi, berefleksi tentang betapa sulitnya perjuangan mendirikan republik ini. Tentang banyaknya korban sepanjang rute pergerakan kemerdekaan. Tentang besarnya pengorbanan mereka yang dulu berada dalam arak-arakan barisan perjuangan. Tentu Soekarno sang “singa podium” yang terus berkelebat dari satu tempat ke tempat lainnya mengaumkan semangat juang, dan juga Inggit perempuan Sunda yang berkulit halus tetapi berhati baja termasuk di antaranya bahkan menjadi pemeran utama. Di antaranya harus mengorbankan privasi karena rumah mereka menjadi “Posko Pendirian Negara Republik Indonesia”. Seorang kawan Bung Karno, J.A.H. Ondang misalnya suatu saat tiba-tiba muncul. Padahal malam sudah larut. Ia minta tolong untuk menginap karena ternyata rumah tempatnya kos tertutup sebab ibu kosnya pergi ke tempat lain. Ibu kosnya tidak menunggu karena Ondang memang pulang lebih cepat dari jadwal semula. Bung Karno lalu menyarankannya untuk menginap di hotel. “Tidak mungkin, aku tidak sanggup membayarnya. Isi sakuku Cuma dua rupiah. Itulah seluruh milikku. Aku sesungguhnya tidak mau mengganggu Bung, tetapi hanya Bung satu-satunya yang kukenal baik di Bandung ini” jelas Ondang sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Boleh saja, tapi rumah kami yang kecil ini sudah penuh. Kalau Bung tidak keberatan sekamar dengan kami suami istri “ kata Bung Karno menjelaskan agar kawannya tidak tersinggung mengapa ia diminta ke hotel. Ondang menerima baik tawaran itu dan tidurlah ia sekamar dengan Bung Karno dan Bu Inggit selama tiga malam di kamar yang relatif kecil.

Itulah gambaran ketabahan luar biasa seorang Inggit. Siang hari ia kerepotan mengurusi segala urusan reme temeh untuk menunjang aktifitas pergerakan yang digagas Soekarno yang memang hanya memikirkan nasib bangsanya. Namun untuk malam pun di saat ia harus istrahat, privasinya pun masih direbut kawan mereka. Makin jelas kalau rumah itu selain tempat tinggal juga merangkap “posko” sehingga siapapun boleh datang minum, makan bahkan menginap sekalipun di kamar yang sejatinya hanya untuk suami istri Bung Karno dan Bu Inggit. Dan untuk semua itu, Bu Inggitlah yang jadi penanggungjawab dan langsung bekerja karena walaupun aktifitas di tempat itu menyangkut urusan orang banyak tetapi tidaklah seperti sekarang ada seksi dana atau sponsor dan donator.

Di tempat itu Bung Karno yang kemudian digelar Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mencurahkan segala dayanya untuk mengatur strategi meluaskan semangat juang di kalangan pemuda-pemudi seantero tanah air. Bila dengan istilah sekarang dari tempat itulah pemuda kelahiran Surabaya 21 Juni 1901 memprovokasi pemuda-pemudi bahkan semua warga Indonesia nuntuk bangkit melawan pemerintah kolonial. Tapi tidak seperti provokator sekarang yang bersembunyi karena enggan bertanggung jawab, Soekarno malah menantang dan tidak mau menyembunyikan sikap perlawanannya.

Di sana pulah Bu Inggit mengorbankan tenaganya, dalam keadaan ekonomi rumah tangganya yang serba kekurangan, lalu berdagang mencari uang guna memenuhin kebutuhan pergerakan di posko itu. Tetapi rumah yang dulu hiruk pikuk dengan dinamika perjuangan itu, kini ditelan sepi. Kosong melompong di tengah euphoria para pejabat dan pengusaha memburu dan menikmati materi. Terbengkalai di tengah kesibukan perebutan kekuasaan. Tak heran, selama dua tahun 2006 -2007 buku tamu yang ada di sana menjelaskan pengunjung hanya 46 orang saja. Sayalah yang ke 46 datang dengan sengaja tanggal 31 Desember pukul 12.00. Tetapi walaupun tengah hari puncak-puncak kesibukan dan Kota Bandung menjadi sesak di datangi pengunjung dari luar untuk berlibur akhir tahun, rumah itu tetap sepih. Saya hanya bertemu Panjaitan pensiunan Dep. PU yang juga sengaja datang dari Jakarta karena ia menghabiskan masa kecilnya di kawasan itu. Di bagian depan kiri ada pohon nagka dan kanan pohon jambu yang lebih tinggi menjadi saksi bisu akan kebisuan rumah itu dan atas kebisuan bangsa ini akan sejarahnya.

Jas Merah
Bung Karno bersama dkk memang menderita luar biasa dalam perjuangannya mendirikan Negara Republik Indonesia. Dan agar kegetiran yang dialami berjuta pejuang termasuk Bu Inggit, tak terlupakan, ia menggagas sebuah semboyan :”JAS MERAH”; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Tetapi satu di antara sejumlah ajaran Bung Karno yang kemudian menjadi istilah populer itu, hanya populer diucapkan tetapi tidak pada tataran pengkhayatan apalalagi tindakan. Buktinya, tempat yang amat menentukan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini di Jl. Bu Inggit Garnasih Bandung kini terbengkalai. Kini hanya rumah biasa dan tak lebih dari itu. Tetapi rumah biasa yang juga tak terurus. Tak ada sesuatu di sana, entah tulisan atau benda lainnya yang bisa mengingatkan atau menyadarkan pengunjung bahwa tempat itu adalah tempat yang memegang peranan pen ting bagi pendirian republik ini. Hanya ada dua gambar Bung Karno, tetapi bukankah gambar yang sama ada di berbagai tempat ?.

Begitupun bila pejalan kaki lewat di depannya tak ada petunjuk apapun bangunan apakah gerangan yang sepi itu. Sebab di luar pagar hanya ada tulisan : Dilarang Berjualan. Tetapi di depan tulisan itu pedagang berjajar memajang dagangannya setiap hari.Dan karena tak terurus pantas saja walaupun saya datang siang hari tetap saja sepi. Karenanya tidaklah mengherankan kalau dalam jangka dua tahun pengunjungnya hanya 46 orang. Menyedihkan, karena akibat tak banyak yang berkunjung, pedagang sekelilingnya pun tak tahu rumah apa dan punya siapakah gerangan itu. Dedy misalnyha penjual es cendol di seberang jalan saya tanya : “Ini jalan apa?” “Jalan Bu Inggit” jawabnya. “Tahu siapa itu Bu Inggit ?” . “Tidak” katanya sambil menggeleng sementara kedua tangannya asyik memberesi kantong plastik untuk menuang cendol pesanan saya. “Tahu bangunan apa itu” tanya saya sambil menunjuk ke seberang. “Tidak” tapi ia tidak lagi menggeleng melainkan menatap bangunan yang dari seberang jalan hanya kelihatan bagian atapnya akibat tertutup tenda-tenda pedagang. Ia mencoba menatatpnya seserius mungkin karena mungkin selama ini tak ada yang menarik dari bangunan tua itu walaupun menurut pengakuannya ia berjualan di tempat itu sejak setahun lalu. “Tahu siapa pemilik rumah” lanjut saya membuatnya berbalik menatap saya serius dan curiga akibat pertanyaan yang bertubi-tubi yang mungkin selama setahun di tempat itu bertarung mencari nafkah belum pernah ditanyai sedetail itu, apalagi tentang sebuah bangunan dan pemilik nama jalan sekaligus. “Tidak tahu” jawabnya gundah berhadapn orang asing yang bertanya berulang-ulang. Tetapi Dedy tidak tahu kalau kegundahan saya jauh lebih mendalam apalagi setelah tahu ia tamat SMP dan sekolahnyan tidak jauh dari tempat itu. Pikiran saya benar-benar galau, seorang pelajar SMP yang sekolahnya di sekitar Jl Bu Inggit sama sekali tidak tahu menahu dengan pemilik jalan itu, juga tentang apa dan siapa pemilik bangunan di no 8.

Dua minggu sebelumnya saya berada di Mumbay ( Bombay ) India untuk suatu kunjungan resmi. Di suatu tempat yang berjauhan saya menanyakan kepada seseorang dimana ada patung dan rumah Gandhi. Sang penjaga toko bisa menjelaskan arah tempat yang saya maksud. Padahal jarak ke sana masih sangat jauh, tetapi si pejaga toko tahu persis di mana patung Gandhi dipajang ( sebuah taman ) dan rumahnya terletak dimana. . Begitupulah petugas hotel tempat kami menginap malah menjelaskan lebih detail. Gandhi adalah tokoh pejuang India yang dikenal dan dikenang rakyat India sampai sekarang. Ajaran-ajarannya mendunia. Soekarno pun sama walaupu sudah barang tentu tidak sendirian tetapi tak ada yang menyangkal kalau ialah tokoh utama yang menghabiskan masa remajanya untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsanya.

Bedanya rumah Gandhi tempat ia mulai merintis perjuangan kemerdekaan bagi bangsanya kini terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi dan terkenal di seantero Mumbay., sehingga seorang penjaga took yang jauh dari tempat itu sekalipun tahu dimana letaknya. Rumah sedernaha itu tetap utuh, di depannya tertulis petunjuk tentang rumah itu dan begitu kita melangkah masuk patung Gandhi sudah menyambut. Terasa sekali kalau rumah itu pernah menjadi pusat denyut nadi perjuangan. Perabot-perabot asli serta ruangan kerja tokoh yang hidup sangat sederhan dengan ajarannya yang sangat terkenal Swadeshi itu tetap terpelihara. Begitupula buku-buku dan lainnya. Karenanya, bangunan tua itu tidak bisu, melainkan tetap berkisah sepanjang masa kepada para pengunjung yang datang dari seantero jagat. Di sana ada roh yang membuat orang ingin banyak tahu bahkan ingin berlama-lama malahan rindu untuk mengunjunginya kembali. Sementara rumah Bu Inggit yang juga rumah Bung Karno yang menjadi pusat pergerakan perjuangan kemerdekaan kini sepi tak terurus. Karenanya rumah itu benar-benar bisu, tak bisa berkisah tentang apapun. Di sana tak ada roh perjuangan yang tersisa yang bisa menggelitik bathin pengunjung atau orang di sekitarnya.

Kebisuan rumah itu menggundahkan bathin saya dan tak bisa berkata apapun kecuali meminta buku tamu kepada Dadang Supriatna pegawai Pemkot Bandung disaksikan Jajang yang membantu Dadang menjaga rumah itu untuk mengisinya. Tetapi tidak seperti 45 pengunjung sebelumnya yang hanya menulis identitas dan alamat serta tujuan dan keperluan berkunjung sesuai tabel yang sudah ada di buku itu. Saya harus mengisinya dengan seuntai kesan dan pesan yang memenuhi dua halaman folio. Dan kesan pertama yang saya tulis : kecewa ………………………. Agak lama saya tercenung dan hampir saja meneteskan air mata, hanya saya berusaha mengendalikan emosi, baru bisa meneruskannya. Di luar memang hiruk pikuk tetapi di dalam rumah sepih, padahal dulu di zaman perjuangan tempat itu hiruk pikuk. Kini setelah 62 tahuan Indonesia merdeka, rumah yang dulu jadi “posko” itu terbengkalai dalam sepi dan itulah yang membuat saya kecewa berat, karena akibat suasananya itu saya sama sekali tidak merasakan Roh Perjuangan di sana. ( kobu’/jacobus kamarlo mayong padang, anggota DPR RI ).

Kemerdekaan bagi warga yang mendiami pulau-pulau di nusantara ini bisa saja tercapai entah kapan, toh sejumlah pulau-pulau di Samudera Pasifik missal walaupun dengan luas yang sangat kecil dan jumlah penduduk yang sangat sedikit beisa mewujudkan kemerdekaannya. Dengan demikian kemerdekaan bagi warga pada setiap pulau atau gabungan beberapa pulau di kawasan ini tetaplah bisa terwujud. Tetapi memederkakan sekaligus menyatukan 19.000 pulau yang dihuni …..suku dengan ragam budaya termasuk…..bahasa daerah adalah sesuatu yang mencengangkan dan itu hanya dilakukan oleh orang yang memang luar biasa baik kecerdasan, keberanian maupun keseriusan dan ketulusan dan itulah yang dimiliki Soekarno. Maka walaupun rentetan perlawanan yangf begitu sengit menghadapi pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang silih berganti di seantero nusantara, semua berakhir dengan kekalahan karena tak satupun tokoh yang memimpin perlawanan itu berkemampuan memobilisasi atau menyatukan seluruh warga yang mendiami ke 19.000 pulau ini.

Usaha yang memungkinkan lahirnya sebuah negara kepulauan dengan jumlah pulau terbanyak di dunia ini sudah barang tentu tidak pada kurun waktu yang singkat. Memakan waktu yang sangat lama dan dengan perangkat pendukung yang sangat minim. Tidak ada kepanitiaan dengan pembagian tugas apalagi tempat yang memadai, semuanya serba sederhana bahkan terpaksa dan sekali lagiu Bung Karno tokoh yang sangat berperan mem bidani sebuah bangsa yang begitu besar hanya bermodal ketulusan, keseriusan, keberanian dan tentu kecerdasan. Datanglah ke Jl. Ibu Inggit No 8 ( dulu Jl Ciateul ) Bandung salah satu tempat di mana Bung Karno bergumul siang dan malam berdisksi dengan kawan-kawannya menggagas strategi tempat dimana ia mencurahkan seluruh dayanya semata untuk mempersatukan dan memerdekakan wilayah nusantara yang karena indahnya ia biasa menyebutnya Zamrud Khatulistiwa. Rumah tsb menjadi pusat pergerakan pada saat itu dan karenanya bila merujuka pada aktifitas zaman sekarang tempat itu akan disebut “Posko Pembentukan Negara Kesatuan RI”.

Di saat kita mempringati 100 tahun Kebangkitan Nasional, tak ada berefleksi di rumah kecil no 8 Jl Bu Inggit itu. Kondisi rumah akan memberikan gambaran kepada kita bagaimana kesulitan yang dialami penghuninya yang direpoti dengan sebuah beban yang maha berat. Lihatlah kamar Bung Karno yang hanya berukuran 2 x 3 meter, sudah barang tentu sangat sumpek bila sudah diisi dengan tempat tidur dan peralatan lainnya sekalipun dalam ukuran minim. Begitu pulah dengan ruang tamu tempat Soekarno berdiskusi dengan kawan-kawannya hanya 3 x 3,5 meter. Itulah “Posko” tempat menggodok republik ini.

Sayangnya tempat yang amat bersejarah itu kini terbengkalai. Tanggal 31 Desember 2007 saya sengaja dating ke Bandung untuk mengunjungi rmah bersejarah itu serta makam Marhaen yang kini berada di belakang kawasan real estate yang mewah Batu Nunggal. Tetapi betapa mengecewakannya karena rumah yang saya saksikan yang sejatinya rumah bersejarah kini hanya sebuah rumah biasa yang tak terurus. Dua buah gambar Bung Karno satunya tergantung di ruang tamu dan satunya di ruang keluarga. Itu saja. Selebihnya tidak ada, tetapi bagi saya dengan gambar itu saja tidaklah memberi kesan kalau rumah itu pernah menjadi denyut jantung pergerakan kemerdekaan, karena toh di ruang-ruang kerja dan rumah biasa sekalipun gambar-gambar Bung Karno terpampang banyak kita temukan.“Saya tidak merasakan ROH PERJUANGAN di rumah ini” demikian rasa kecewa saya tuangkan pada buku tamu, hal yang tidak lazim dilakukan oleh pengunjung. Karena dari 42 pengunjung selama 2 tahun, tak seorangpun yang menulis kesan dan pesan selain tujuan dan keperluan. Saya harus menuliskan kesan yang saya alami serta pesan saya pada 2 halaman folio dan saya bertekad untuk meneruskan pesan saya lebih lengkap dan resmi ke berbagai pihak. Saya kecewa berat karena keadaan kondisi rumah tersebut adalah gambaran betapa rendahnya apresiasi bangsa ini terhadap situs sejarah yang maha penting. Rumah yang tak mengesankan apapun itu adalah cerminan betapa kita tidak menghargai jejak sejarah sekaligus penghormatan pada para pejuang khususnya pendiri republik ini. Rumah yang kini tenggelam di antara dua bangunan tinggi dan di belakang kerumunan pedagang kaki lima itu dengan kondisinya sekarang tak akan banyak yang tahu kalau di sanalah pergulatan mendirikan republik menjadi pergulatan utama penghuni dan tetamunya. Sudah barang tentu perbincangan di sana kala itu bukanlah tentang sebuah tender, atau sebuah jabatan atau sebuah pengembangan usaha yang bisa menambah keuntungan dan itu berarti kenikmatan hidup. Sepenuhnya Bung Karno dan kawan-kawan berpikir tentang pembebasan sebuah bangsa yang tertindas selama ratusan tahun dan itu berarti sebuah risiko besar, nyawa taruhannya bukannya kenikmatan. Di belakang Ibu Inggit menjadi sangat kerepotan untuk melayani tetamu yang silih berganti, kerepotan yang sulit dibayangkan karena pendapatan u Inggit dari 3 kamar yang disewakan bukanlah pendapatan yang mencukupi.




2 komentar:

Teguh DH mengatakan...

Jangankan rumah peninggalan sejarah yang tidak terawat..pelaku sejarah yang masih hidup pun sudah tidak dipedulikan lagi. Dan itu terjadi, sudah sejak lama..bukan hanya baru-baru ini saja..

Sepertinya JASMERAH memang tidak berarti apa-apa bagi bangsa ini..semacam kutukan, bangsa ini selalu menerapkan habis manis sepah dibuang..

Tidak ada yang lebih berarti daripada uang, duit, dolar, rupiah, emas, atau apapun namanya yang bisa memenuhi kepentingan pribadi masing-masing..

Anugrah Yanus Rundupadang ( Yaya' ) mengatakan...

Two Thumbs up, angkat topi, dan salut buat Bung Kobu' atas kepeduliannya yang mengangkat sejarah perjuangan Bung Karno dari hal-hal kecil, detil, yang sering terlupakan .. yang mendukung perjuangan itu sendiri dan memberi warna sejarah buat generasi kini dan yang akan datang...


Dan semoga kami sebagai yunior bisa dan berani meneladani Bung Kobu' untuk tetap fight for marhein, bersahaja dan benar benar tulus terjun langsung memperjuangkan wong cilik/ kaum termarginalkan dengan segala permasalahannya.

Ditunggu Tulisan Bung Kobu' yang melintasi daerah terpencil dari sulbar ke toraja dengan berhari-hari masuk keluar hutan berjalan kaki menyelami arti terpencil.

Tuhan selalu beserta Pemberani.
Yaya' Rundupadang